Potensi wisata yang berhubungan dengan seni
budaya di NTB adalah kain tenun tradisional Lombok. Saya mendapatkan informasi
bahwa pusat kerajinan tenun tradisional Lombok berada di Desa Sukarara. Selain
menjual kain tenun, di sana kita juga dapat melihat pembuatan tenun itu
sendiri. Informasi ini membuat saya sangat tertarik untuk melihat secara langsung
proses pembuatannya. Apa sebenarnya yang membuatnya berbeda dari kain tenun lainnya
sehingga berharga mahal?
Desa Sukarara berada di antara Bandara
Internasional Lombok dan Mataram, tepatnya di wilayah Kecamatan Jonggat,
Kabupaten Lombok Tengah. Berjarak sekitar 25 km atau setara dengan waktu tempuh
sekitar 30 menit dari kota Mataram bila menggunakan kendaraan. Waktu yang
paling baik jika ingin pergi ke desa ini
bagi wisatawan adalah pada hari kepulangan, sehingga dari sana bisa langsung
menuju Bandara Internasional Lombok.
Tiba di desa Sukarara, saya langsung diarahkan ke
sebuah artshop yang cukup besar. Di depan artshop tersebut terdapat beberapa
pengrajin yang sedang duduk menenun jalinan benang. Saya pun menghampiri salah
satu pengrajin. Melihat bagaimana dengan tekunnya ia mengkaitkan gulungan demi
gulungan benang diantara jajaran benang yang terikat pada kayu. Saya tertegun
menyaksikkannya.
Mesin tenun itu tak seperti yang saya bayangkan.
Saya pernah melihat mesin tenun kain endek Bali yang masih lebih bagus dari
mesin kain tenun tradisional Lombok ini. Mesin tenun tradisional Lombok sangat
sederhana.
Ada 2 balok kayu yang cukup besar, masing-masing
di bagian dasar sisi kanan dan kiri tepi dari mesin tenun. Pada kedua balok
tersebut terpancang balok dengan ukuran yang sama dengan balok yang berada di
dasar. Tingginya tidak lebih dari tinggi
leher orang dewasa ketika duduk di lantai. Sebagai penahan balok yang
terpancang, disematkan balok kayu yang lebih kecil, juga berfungsi sebagai
sandaran kaki pengrajin. Pada kedua balok yang terpancang tersebut disisipkan
bilah kayu ke dalamnya selebar kira-kira 7 cm, melintang dari kanan ke kiri
sejajar dengan balok kecil sandaran kaki. Bilah bambu tersebut menjadi ujung
gulungan benang yang akan ditarik ke arah badan pengrajin.
Benang yang dililitkan pada bilah kayu tersebut
memiliki sisi atas dan bawah. Benang ini merupakan benang untuk warna dasar
kain. Ujung benang yang terdekat dengan badan pengrajin juga akan dililitkan ke
sebuah kayu yang lebih kecil.Kayu ini yang nantinya dapat digunakan untuk
menggulung bagian ujung kain yang telah jadi dan memiliki pola. Kayu ini
diletakkan dekat dengan perut pengrajin
dan agar kuat menarik benang, maka bagian ujung kayu di sisi kanan dan kiri
akan diikat dengan kayu yang berada di bagian belakang pengrajin. Dengan
demikian kayu secara tak langsung terikat dengan badan pengrajin. Badan
pengrajinlah yang akan menguatkan tarikan benang agar terbentuk pola yang
sempurna.
Diantara benang dasar juga terselip benang
berwarna yang fungsinya membentuk pola pada kain. Warna dapat disesuaikan
dengan keinginan. Benang tersebut terlilit pada beberapa bilah bambu kecil dan
salah satunya ada yang diikat dengan tali ke arah atas. Entah apa fungsinya. Antara bilah-bilah bambu kecil tersebut
dengan kayu yang ada di perut pengrajin, terdapat bilah kayu selebar kira-kira
5 cm yang berguna untuk mengencangkan kerapatan benang. Biasanya pengrajin akan
menghentakkan bilah bambu tersebut ke arah dirinya.
Ibu Budi, nama pengrajin tempat saya bertanya, tiba-tiba
menawari untuk belajar langsung cara pembuatannya. Awalnya saya menolak karena
takut kain yang sedang dalam proses akan rusak gara-gara ulah saya haha...
Tetapi ibu Budi meyakinkan dengan mengatakan bahwa tidak apa-apa dan tidak akan
rusak karena beliau akan mendampingi dalam prosesnya.
Maka belajarlah saya kepada ibu Budi. Bukan
belajar membaca seperti saat SD dulu yaa - Ini ibu Budi - tetapi belajar
bagaimana menggunakan mesin tenun tradisional. Sebenarnya saya tidak berharap
dan tidak menyangka akan belajar langsung pada pengrajinnya. Namun saya sadari
bahwa dengan mempraktekkan langsung akan jauh lebih tertanam di benak daripada
hanya sekedar bertanya lantas hilang dalam ingatan.
Belajar membuat kain tenun tradisional Lombok (@TriaCP) |
Saya mencoba duduk dan berada dalam balutan benang pada mesin tradisional tersebut. Di depan saya terhampar ratusan bahkan mungkin ribuan benang, sejajar dengan kaki yang menjulur ke depan. Sebagian kain telah terlihat pola. Namun pola yang menghadap ke atas sebenarnya merupakan bagian sisi dalam kain. Sedangkan pola yang menghadap ke bawah, merupakan bagian depan kain saat digunakan.
Di atas pola yang telah jadi sebagian, terdapat
gulungan-gulungan benang berwarna yang harus dililitkan diantara benang-benang
dasar. Masing-masing gulungan benang dililitkan pada benang dasar yang
jumlahnya kadang sedikit dan terkadang jumlahnya lebih banyak. Gulungan ini harus
dililitkan secara berurutan dari kanan ke kiri dan juga sebaliknya dari kiri kanan.
Setelah itu untuk mengencangkan kerapatan benang yang melintang, saya harus
menghentakkan dengan kuat bilah kayu selebar kira-kira 5 cm tadi ke arah diri.
Semakin kuat hentakannya, maka benang akan semakin rapat. Semakin rapat benang,
hasil tenun akan semakin bagus.
Ada pula gulungan benang yang harus saya
lemparkan dari kanan ke kiri ataupun sebaliknya dari kiri ke kanan di antara
benang dasar yang berada di atas dan di bawah. Gunanya untuk mengunci pola. Hal
itu dilakukan setelah menarik bilah-bilah bambu kecil yang terikat
benang-benang. Bilah-bilah bambu itulah yang mengatur pola gambar dan seberapa
banyak benang dasar yang akan diikat.
Aaahh...ternyata pembuatan kain tradisional Lombok
memang rumit sekali! Proses yang paling rumit adalah pada saat awal
penghitungan benang untuk ikatan setiap pola. Salah menghitung di awal, maka
pola yang akan dibuat tidak akan sesuai dengan keinginan. Bayangkan bila sudah
capai dan lama membuat, ternyata kain yang dihasilkan tidak memiliki pola yang
sempurna.
Usut punya usut, pembuatan kain ini memakan waktu
hingga berbulan-bulan. Padahal kegiatannya dilakukan selama berjam-jam setiap
harinya. Sungguh memerlukan ketekunan dan kesabaran yang luar biasa dalam
menenun selembar kain.
Lantas mengapa penenun tradisional membuat kain dengan
lebar hanya setengah atau sekitar 60 cm? Sehingga kain tenun tradisional khususnya
songket biasanya akan terlihat sambungan pada tengah kain?
Hal ini disebabkan penenun akan kesulitan
menjalin antara benang yang satu dengan benang lainnya dari kanan ke kiri
apabila lebarnya melebihi lebar badan pengrajin atau lebih dari +60 cm. Tentunya
seorang pengrajin akan memerlukan usaha yang lebih dalam membuatnya dan tidak
bisa dilakukan sambil duduk. Maka untuk mempermudah dan mempercepat prosesnya, lebar
kain dibuat selebar ukuran badan pengrajin. Nantinya pengrajin akan
menggabungkan kedua kain hingga menjadi kain songket yang utuh.
Kain tenun yang saya kerjakan, memiliki pola yang
bernama Subahnala. Kata Subahnala sendiri berasal dari kata Subhanallah yang
artinya Maha Suci Allah. Dan tahukah berapa harga kain songket yang saya tenun?
Ternyata kain yang saya buat tersebut seharga Rp2,5 juta. Mengetahui hal itu,
saya langsung menghentikan kegiatan menenun. Takjub!
Proses pengerjaan yang rumit dan lama serta
memerlukan ketekunan dan kesabaran dari pembuatnyalah yang membuat harga
selembar kain tenun songket tradisional Lombok berharga mahal. Sudah selayaknya
kita menghargai hasil jerih payah tersebut dengan harga yang tinggi. Berwisata,
bukan hanya untuk menikmati tempat hiburan atau keindahan alamnya saja, tetapi
juga untuk mengetahui dan menjaga kelestarian warisan budaya bangsa. Salam dari
Lombok!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar